Rabu, 09 Juli 2008

nilai-nilai estetika

Menggugat Nilai Budaya yang Usang

Pada tataran ideologi, budaya Bali seringkali disebut-sebut sebagai benteng pencegah berbagai keterpurukan. Ketika budaya ditegakkan secara benar, nilai-nilai estetika, moral, kemanusiaan dan lain sebagainya akan lestari. Tetapi pada tataran realitas, kita seringkali diganggu rasa terenyuh. Betapa budaya Bali sesungguhnya terus-menerus mengalami ketergangguan oleh berbagai hal yang dibawa oleh tuntutan dan godaan hidup modern. Katakanlah ketika industri pariwisata menjadi panglima, budaya Bali harus takluk di dalamnya sebagai objek. Akhirnya budaya Bali tak lebih dari sekadar ''kuda tunggangan'' untuk meraih target-target ekonomi. Nah, pada masa mendatang (2004) bagaimana mestinya masyarakat menempatkan kebudayaan Bali. Strategi apa yang seharusnya dilakukan agar budaya Bali tidak sekadar objek, tetapi justru menjadi subjek?

-------------------------

Seniman Kadek Suartaya, SS.Kar., M.Si. mengatakan sesungguhnya banyak nilai kebudayaan Bali dapat memberi nilai positif bagi kehidupan masyarakat Bali. Namun, mesti diakui ada nilai-nilai yang perlu dikaji ulang atau dipikir ulang pada tahun 2004 ini.

Selama ini ada kecenderungan masyarakat mengkultuskan nilai-nilai budaya yang sebenarnya tak relevan lagi dengan perkembangan kebudayaan atau transformasi budaya saat ini. Karena sikap mentabukan nilai-nilai itu atau tidak memiliki keberanian untuk menggugat nilai-nilai yang usang, menyebabkan masyarakat terus tergelincir dalam kubangan kebudayaan yang kontraproduktif dengan nilai kekinian.

Hal ini justru berpengaruh besar terhadap pola pikir kebudayaan. ''Akibatnya, pola pikir kita menjadi mandul, perilaku budaya kita tak cerdas dan kemampuan untuk menciptakan nilai-nilai budaya baru tak ada. Di samping itu, tak memiliki rangsangan untuk menciptakan nilai-nilai baru,'' kata dosen ISI Denpasar ini.

Kata Suartaya, banyak nilai usang mesti ditanggalkan, seperti manak salah, kasepekang, briyuk siu dan kebulatan tekad. Bahkan, kebulatan tekad itu justru memenjarakan hak-hak demokrasi. Tetapi saat ini masih saja ada masyarakat yang mengkultuskannya.

Pada tahun 2004 ini masyarakat mestinya tidak takut lagi membuang atau mengkaji ulang nilai-nilai budaya yang membuat pola pikir terkungkung. Masyarakat juga merevisi kembali cara berperilaku budaya yang tidak takut mengadopsi nilai-nilai budaya baru. ''Dengan demikian kita tak hanya mampu mengangkat gengsi dan harkat martabat budaya Bali, tetapi menyumbangkan nilai-nilai itu dalam skup yang lebih luas. Dengan demikian, kebudayaan Bali akan mampu memberi kontribusi dalam era kesejagatan. Dengan merombak cara berpikir, kita akan berhasil menempatkan kebudayaan Bali pada posisinya yang wajar,'' katanya.

Tanpa Strategi

Seniman Drs. Ketut Murdana, M.Sn. mengatakan kebudayaan kita selama ini seolah-olah dibangun tanpa koordinasi dan tanpa strategi. Akhirnya, masing-masing merancang sendiri sehingga kekuatannya terpencar. Kekuatan itu justru tak bisa memberikan vibrasi yang lebih luas. Akibatnya pula budaya asing dengan mudah masuk menjadi ''kebudayaan'' baru masyarakat. Itu karena kontrol atau filter kita yang lemah. Contohnya bisa dilihat dari cara berpakaian, cara berpikir, berperilaku masyarakat belakangan ini.

''Bahkan, kita seolah-olah bangga mengadopsi produk luar,'' katanya sembari berharap masyarakat jangan sampai grasa-grusu menyerap budaya asing. Karena itu, pada tahun 2004 ini sudah selayaknya melihat kembali jaditi diri budaya Bali. Nilai-nilai yang adiluhung atau keunggulan potensi itulah yang mesti dipakai oleh pihak terkait utuk membangun strategi kebudayaan di masa depan. ''Kita sudah saatnya meninggalkan budaya bakar-bakaran, tusuk-menusuk sesama keluarga. Demikian pula sikap arogansi dll. mesti sudah saatnya dibuang jauh-jauh,'' katanya.

Jika itu terus terjadi dalam masyarakat Bali, justru akan mengkerdilkan arti kebudayaan Bali yang nilai-nilainya sudah sangat tersohor di mancanegara. Pun, jika itu terjadi sama artinya kembali terjadi pembiadaban-pembiadaban. Karena itu, perlu ada renungan diri sendiri untuk memaknai nilai-nilai budaya yang kita miliki.

Dikatakannya, masuknya unsur eksternal memang membuat kemasan baru dalam kebudayaan atau kesenian khususnya. Dari segi ekonomi memang memiliki makna positif. Tetapi di sisi lain akan terjadi erosi kultural. Efek komersial itu justru akan mempengaruhi keajegan kesucian budaya Bali. Strategi ke depan, semua pihak mesti melakukan proteksi terhadap budaya Bali. Security pribadi justru sangat menentukan. Jika ingin menjaga keselamatan budaya Bali, semua pihak mesti ada kesadaran untuk mengajegkannya.

Menggugat Nilai Budaya yang Usang

Pada tataran ideologi, budaya Bali seringkali disebut-sebut sebagai benteng pencegah berbagai keterpurukan. Ketika budaya ditegakkan secara benar, nilai-nilai estetika, moral, kemanusiaan dan lain sebagainya akan lestari. Tetapi pada tataran realitas, kita seringkali diganggu rasa terenyuh. Betapa budaya Bali sesungguhnya terus-menerus mengalami ketergangguan oleh berbagai hal yang dibawa oleh tuntutan dan godaan hidup modern. Katakanlah ketika industri pariwisata menjadi panglima, budaya Bali harus takluk di dalamnya sebagai objek. Akhirnya budaya Bali tak lebih dari sekadar ''kuda tunggangan'' untuk meraih target-target ekonomi. Nah, pada masa mendatang (2004) bagaimana mestinya masyarakat menempatkan kebudayaan Bali. Strategi apa yang seharusnya dilakukan agar budaya Bali tidak sekadar objek, tetapi justru menjadi subjek?

-------------------------

Seniman Kadek Suartaya, SS.Kar., M.Si. mengatakan sesungguhnya banyak nilai kebudayaan Bali dapat memberi nilai positif bagi kehidupan masyarakat Bali. Namun, mesti diakui ada nilai-nilai yang perlu dikaji ulang atau dipikir ulang pada tahun 2004 ini.

Selama ini ada kecenderungan masyarakat mengkultuskan nilai-nilai budaya yang sebenarnya tak relevan lagi dengan perkembangan kebudayaan atau transformasi budaya saat ini. Karena sikap mentabukan nilai-nilai itu atau tidak memiliki keberanian untuk menggugat nilai-nilai yang usang, menyebabkan masyarakat terus tergelincir dalam kubangan kebudayaan yang kontraproduktif dengan nilai kekinian.

Hal ini justru berpengaruh besar terhadap pola pikir kebudayaan. ''Akibatnya, pola pikir kita menjadi mandul, perilaku budaya kita tak cerdas dan kemampuan untuk menciptakan nilai-nilai budaya baru tak ada. Di samping itu, tak memiliki rangsangan untuk menciptakan nilai-nilai baru,'' kata dosen ISI Denpasar ini.

Kata Suartaya, banyak nilai usang mesti ditanggalkan, seperti manak salah, kasepekang, briyuk siu dan kebulatan tekad. Bahkan, kebulatan tekad itu justru memenjarakan hak-hak demokrasi. Tetapi saat ini masih saja ada masyarakat yang mengkultuskannya.

Pada tahun 2004 ini masyarakat mestinya tidak takut lagi membuang atau mengkaji ulang nilai-nilai budaya yang membuat pola pikir terkungkung. Masyarakat juga merevisi kembali cara berperilaku budaya yang tidak takut mengadopsi nilai-nilai budaya baru. ''Dengan demikian kita tak hanya mampu mengangkat gengsi dan harkat martabat budaya Bali, tetapi menyumbangkan nilai-nilai itu dalam skup yang lebih luas. Dengan demikian, kebudayaan Bali akan mampu memberi kontribusi dalam era kesejagatan. Dengan merombak cara berpikir, kita akan berhasil menempatkan kebudayaan Bali pada posisinya yang wajar,'' katanya.

Tanpa Strategi

Seniman Drs. Ketut Murdana, M.Sn. mengatakan kebudayaan kita selama ini seolah-olah dibangun tanpa koordinasi dan tanpa strategi. Akhirnya, masing-masing merancang sendiri sehingga kekuatannya terpencar. Kekuatan itu justru tak bisa memberikan vibrasi yang lebih luas. Akibatnya pula budaya asing dengan mudah masuk menjadi ''kebudayaan'' baru masyarakat. Itu karena kontrol atau filter kita yang lemah. Contohnya bisa dilihat dari cara berpakaian, cara berpikir, berperilaku masyarakat belakangan ini.

''Bahkan, kita seolah-olah bangga mengadopsi produk luar,'' katanya sembari berharap masyarakat jangan sampai grasa-grusu menyerap budaya asing. Karena itu, pada tahun 2004 ini sudah selayaknya melihat kembali jaditi diri budaya Bali. Nilai-nilai yang adiluhung atau keunggulan potensi itulah yang mesti dipakai oleh pihak terkait utuk membangun strategi kebudayaan di masa depan. ''Kita sudah saatnya meninggalkan budaya bakar-bakaran, tusuk-menusuk sesama keluarga. Demikian pula sikap arogansi dll. mesti sudah saatnya dibuang jauh-jauh,'' katanya.

Jika itu terus terjadi dalam masyarakat Bali, justru akan mengkerdilkan arti kebudayaan Bali yang nilai-nilainya sudah sangat tersohor di mancanegara. Pun, jika itu terjadi sama artinya kembali terjadi pembiadaban-pembiadaban. Karena itu, perlu ada renungan diri sendiri untuk memaknai nilai-nilai budaya yang kita miliki.

Dikatakannya, masuknya unsur eksternal memang membuat kemasan baru dalam kebudayaan atau kesenian khususnya. Dari segi ekonomi memang memiliki makna positif. Tetapi di sisi lain akan terjadi erosi kultural. Efek komersial itu justru akan mempengaruhi keajegan kesucian budaya Bali. Strategi ke depan, semua pihak mesti melakukan proteksi terhadap budaya Bali. Security pribadi justru sangat menentukan. Jika ingin menjaga keselamatan budaya Bali, semua pihak mesti ada kesadaran untuk mengajegkannya.

Selasa, 01 Juli 2008

NILAI-NILAI PENDIDIKAN DI INDONESIA

Lingkungan dalam Pendidikan Indonesia

Oleh Ubaidillah Syohih

Beranjak dari berbagai pemahaman mengenai paradigma pengajaran, hingga saat ini saya belum ingin mengatakan pengajaran itu sebagai pendidikan, Indonesia saat ini dalam kaitannya dengan proses transformasi nilai-nilai etika lingkungan, perlu kiranya kita menengok ke dalam diri kita, mengingat kembali pengalaman-pengalaman saat kita diajar. Sejauh ini, pola pengajaran pada lembaga-lembaga pengajaran di Indonesia cenderung mengarahkan peserta ajar untuk sekadar tahu dan hapal mengenai hal-hal yang berkenaan dengan lingkungan agar hasil ujiannya baik.

Hal tersebut diperparah dengan diterapkannya sistem pemeringkatan nilai peserta ajar di akhir semester. “Kamu ranking berapa? Aku rangking satu dong.” Sebuah kalimat yang biasa kita dengar ketika pembagian rapor dilakukan. Ditambah lagi dengan ungkapan, “Anak ibu rangking berapa?” atau “Kamu tuh gimana sih, masa teman kamu bisa rangking 1 kamu gak bisa?”. Hal ini menggambarkan kepada bahwa justru pola pengajaran Indonesia saat ini lebih mengajarkan peserta ajarnya untuk berkompetisi yang pada akhirnya menimbulkan perilaku-perilaku buruk seperti mencontek, bekerja sama ketika ujian, dan perilaku lain yang pada intinya mengarah pada penghalalan segala cara agar memperoleh nilai yang baik, agar tidak dimarahi orang tua, dan agar diperhatikan pengajar yang pada akhirnya mereduksi proses transformasi nilai-nilai etika lingkungan.

Pada sebuah diskusi mengenai adaptasi perubahan iklim melalui sektor pendidikan di Bogor beberapa waktu yang lalu, seorang peserta diskusi memaparkan pengalamannya belajar di sebuah institusi perguruan tinggi yang banyak mengajarkan tentang aspek-aspek lingkungan, namun dia merasa sistem pengajaran yang diterapkan di perguruan tinggi tersebut belum, bila tidak ingin dikatakan tidak, mampu menumbuhkan dan mengembangkan kepekaan dan kesadaran peserta ajar pada lingkungan walaupun ilmu-ilmu yang diajarkan adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan lingkungan. Lalu apa dan atau siapa yang salah? Objektifikasi peserta ajar, ketidakmampuan pengajar dalam mentransformasi nilai-nilai etika lingkungan, sistem pengajaran, atau kurikulumnya yang salah?

Objektifikasi peserta ajar. Hal ini dimengerti bahwa selama ini, peserta ajar adalah objek atas transfer ilmu dari subjek yang bernama pengajar. Peserta ajar ,saat ini, jarang sekali dilibatkan dalam diskusi-diskusi atau diajak berdiskusi mengenai hal-hal yang mengarah pada pengembangan kreatifitas, kekritisan, dan kesadaran peserta ajar atas contoh- contoh kasus yang, harapannya, disampaikan oleh pengajar. Pengajar seperti melakukan teater monolog di mana peserta ajar duduk termangu menonton pengajarnya bermonolog.

Ketidakmampuan pengajar dalam mentransformasikan nilai-nilai etika lingkungan. Tingkat kepakaran pengajar pada suatu bidang kadang kala membuat sang pengajar enggan untuk mentransformasikan hal-hal di luar bidang yang dikuasainya, terlebih lagi hal itu dianggap bertentangan dengan bidang yang digelutinya selama ini. Selain itu, hal tersebut pun terjadi karena sang pengajar pun belum memperoleh pengetahuan, atau belum mengaktualisasikan, nilai-nilai etika lingkungan, sehingga tentunya ia tidak mampu untuk mentransformasikan nilai-nilai etika lingkungan kepada peserta ajar.

Sistem pengajaran. Sebagaimana telah dijelaskan pada pengantar tulisan ini, sistem pengajaran di Indonesia saat ini hanya mampu membentuk peserta ajar menjadi robot-robot di mana orangtua sebagai pengendalinya dan pengajar sebagai benda yang memancarkan gelombang (kurikulum) untuk akhirnya ditangkap oleh sensor yang ada di otak peserta ajar. Akan baik kiranya bila orang tua mengarahkan anaknya untuk mengembangkan, kepekaan, kesadaran, wawasan dan kreatifitas anaknya terhadap nilai-nilai lingkungan dan didorong pula oleh pengajar dengan memberikan materi yang merangsang peserta ajarnya untuk kritis dan kreatif. Namun pada kenyataannya, saat ini hal itu masih sangatlah jarang ditemui, apalagi bila kita melihat di sekolah-sekolah maupun perguruan-perguruan tinggi negeri.

Kurikulumnya yang salah? Lancang memang bila saya memasuki wilayah yang notabene dikuasai oleh pemerintah dan lebih lancang lagi sepertinya bila saya menganggap kesalahan kurikulum ini adalah kesalahan pemerintah. Penandatanganan nota kesepahaman antara Menteri Lingkungan Hidup dengan Menteri Pendidikan Nasional tentang Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup pada tanggal 3 Juni 2005 merupakan langkah awal yang baik dilakukan oleh pemerintah sebagai langkah awal terintegrasinya nilai-nilai etika lingkungan ke dalam kurikulum pendidikan nasional. Namun perlu kita ingat bahwa apapun kebijakan pemerintah yang dibuat, bila tidak diselaraskan dengan pencerabutan keadaan struktural sistem pendidikan Indonesia yang telah begitu mengakar dan sulit diubah, tidak akan mampu mengubah paradigma pendidikan Indonesia yang masih hanya mengedepankan transfer pengetahuan hingga saat ini.

Lalu apa yang bisa kita lakukan?

Tentunya hal tersebut berpijak pada siapa kita. Bagian dari birokrasikah? Bagian dari akademisikah? Bagian dari orang tuakah? Bagian dari peserta ajarkah? Bagian dari Lembaga Swadaya Masyarakat dan organisasi kemasyarakatankah? Atau kita hanya menganggap sebagai seorang individu tanpa label? Apapun kita, lakukanlah langkah dan gerakan yang terbaik sesuai dengan label masing-masing agar nilai-nilai etika lingkungan dapat tertransformasi dengan baik sehingga bangsa Indonesia dan bangsa Bumi, serta makhluk hidup lainnya dapat melestarikan peradabannya.

Selamat Hari Pendidikan Nasional. Semoga kita mampu menjadi bangsa yang terdidik dan mampu menjadi pendidik yang baik untuk anak - cucu kita.

“Anak didik tidak hanya disiapkan agar siap bekerja, tapi juga bisa menjalani hidupnya secara nyata sampai mati. Anak didik haruslah berpikir dan pikirannya itu dapat berfungsi dalam hidup sehari-hari. Kebenaran adalah gagasan yang harus dapat berfungsi nyata dalam pengalaman praktis.” John Dewey (1859 – 1952)

Kisah Sang Juara MTQ Remaja ASEAN (2-Habis)
Merasa Gugup Di Depan Sultan

RAUDHAH yang sudah lama berpengalaman mengikuti MTQ, mulai tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi sampai nasional, malam itu tampil di tingkat Asia Tenggara.

Meski kali pertama tampil di ajang internasional, remaja yang masih sekolah di Ponpes Al Amin Pasayangan ini, sama sekali tidak merasa gugup.

Latihan yang cukup panjang, mulai di Martapura dibimbing oleh HM Yusri sampai beberapa hari di Jakarta oleh Syarifuddin--menjelang ke Brunei, cukup membuat mental remaja berkulit putih bersih ini siap membela nama negara.

"Tanpa disangka saya mendapat giliran pertama, usai kafilah pria menunaikan tugasnya. Tetapi, saya sama sekali tidak merasa gugup, karena guru-guru saya sudah menanamkan pengertian agar menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Meski pun berkonsentrasi secara optimal, tetapi saya tetap rileks saja," akunya.

Pada hari-hari berikutnya, Raudhah tetap melaksanakan tugasnya dengan baik dan hampir tidak melakukan kekhilafan yang berarti. Lantunan suaranya maupun ketepatan tajwidnya, sudah sesuai dengan hasil latihannya selama ini.

Perasaan gugup baru dirasanya pada malam penutupan, Jumat (8/4) malam, di mana Sultan Hasanal Bolkiah, para petinggi kesultananan serta para diplomat negara-negara sahabat ikut hadir menyaksikan kemampuannya.

"Pasalnya tanpa disangka, saya dengan Mat Suro dipercayakan oleh panitia melantunkan ayat suci Alquran, sungguh suatu kehormatan bagi Indonesia," tuturnya dan mengaku dirinya belum mengetahui bahwa kafilah Indonesia memiliki nilai tertinggi dan tinggal diumumkan sebagai pemenang lomba.

Saat diumumkan kalau kafilah Indonesia yang diwakili Mat Suro dan Raudhah berhasil mengumpulkan nilai tertinggi, dan berhak atas gelar juara pertama pada ajang MTQ Remaja ASEAN Brunei Darussalam 2005 serta didaulat sekali lagi tampil di depan Sultan Bolkiah dan hadirin, ia merasakan kegugupan.

"Saat itu saya baru merasakan gugup yang luar biasa, karena penampilan saya memiliki beban sebagai penyandang gelar juara. Ada beban moril, kami harus membuktikan pantas menyandang gelar itu. Tapi, syukurlah tugas itu bisa dijalankan dengan baik," tuturnya.

Kejadian unik terjadi, ketika akan dilaksanakan penyerahan piala Sultan kepada sang juara. "Sebelum acara itu dimulai, kami diberi waktu beberapa menit untuk latihan tata cara berjalan dan memberi salam hormat kepada Sultan. dibimbing bagian protokoler kesultanan," kisahnya.

Untuk menuju panggung kehormatan di mana Sultan berdiri menunggu, Mat Suro dan Raudhah berjalan dengan perlahan seraya diikuti empat dayang istana. Sebelum melangkahkan kaki, mereka menganggukkan kepala sekali. Demikian pula setelah berhenti di depan Sultan sejarak tiga langkah, mereka kembali menganggukkan kepala.

Sultan kemudian menyerahkan piala terbuat dari kristal yang diperkirakan harganya ratusan juta rupiah kepada mereka. Namun, piala asli tersebut kembali diserahkan kepada para dayang, dan tidak di bawa pulang ke Indonesia.

"Yang kami bawa, hanya duplikatnya dalam bentuk yang lebih kecil," papar Raudhah. Selain piala, Raudhah juga berhak atas hadiah uang tunai sebesar 3.000 Ringgit Brunei atau setara Rp7.481.247.53.

Dari pengalamannya itu, Raudhah mengaku banyak yang bisa dicontoh oleh warga Martapura, termasuk kaum Muslimin Indonesia dari budaya warga Brunei.

Di kalangan guru-gurunya di Ponpes Al Amin, Raudhah memang memiliki talenta di atas rata-rata. Menurut guru Bahasa Arab-nya, M Rafiq, remaja ini memiliki kemampuan bahasa Arab yang baik, dan hampir selalu di atas rekan-rekannya.

"Ia (Raudhah) bisa dengan gamblang menjawab pertanyaan saya dalam bahasa Arab, dan ia memang paling aktif dibanding rekan-rekannya dalam berkomunikasi dengan bahasa ini," aku Rafiq.

Rafiq mengaku bangga atas prestasi anak didiknya itu. "Meskipun ia sibuk dengan berbagai kegiatan baik di sekolah, maupun mengikuti lomba atau mengisi acara-acara keagamaan di luar sekolah, namun ia tidak pernah ketinggalan pelajaran dan prestasi akademiknya pun tetap memuaskan," ucapnya.

Di mata rekan-rekannya, Raudhah adalah sosok remaja yang mudah bergaul dengan siapa saja, sebab terkenal supel dan low profile. "Orangnya juga rame, sehingga bisa menyenangkan teman-temannya," kata sohibah Raudhah di kelas III IPA, Nur Hafidzah.

Ditambahkan Nur, Raudhah memang dianggap sebagai bintang di sekolahnya berkat segudang prestasinya. "Kami terus terang bangga berteman dengannya dan ingin seperti dia, tetapi kemampuan kami masih kalah sama dia," ceplos Nur seraya disambut gerai tawa teman-temannya. Raudhah yang ada disamping tersenyum malu dengan pipi memerah jambu seraya berkata, "Ah, tidak juga". adi permana


Copyright © 2003 Banjarmasin Post

Kamis, 19 Juni 2008

DEFINISI BERBAGAI MACAM FILSAFATPENDIDIKAN

  1. Filsafat Pendidikan Idealisme

# Filsafat idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan fisik. Pengetahuan yang diperoleh melaui panca indera adalah tidak pasti dan tidak lengkap. Aliran ini memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah, seperti apa yang dikatakan baik, benar, cantik, buruk secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah: Plato, Elea dan Hegel, Emanuael Kant, David Hume, Al Ghazali

  1. Filsafat Pendidikan Realisme

# Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia ruhani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia. Beberapa tokoh yang beraliran realisme: Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke, Galileo, David Hume, John Stuart Mill.

3. Filsafat Pendidikan Materialisme

# Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, spiritual atau supernatural. Beberapa tokoh yang beraliran materialisme: Demokritos, Ludwig Feurbach

4. Filsafat Pendidikan Pragmatisme

# Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini adalah: Charles sandre Peirce, wiliam James, John Dewey, Heracleitos.

5. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme

# Filsafat ini memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Secara umum, eksistensialisme menekankn pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas. Beberapa tokoh dalam aliran ini: Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, Paul Tillich

6. Filsafat Pendidikan Progresivisme

# Progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini : George Axtelle, william O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B.Thomas, Frederick C. Neff

7. Filsafat Pendidikan esensialisme

# Esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di antara kaum muda.
Beberapa tokoh dalam aliran ini: william C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell.

8. Filsafat Pendidikan Perenialisme

# Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji. Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler.

9. Filsafat Pendidikan rekonstruksionisme

# Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini:Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg.

Fenomena ”Hidup Lebih Maju”

Setiap orang, pasti menginginkan hidup bahagia. Salah satu diantaranya yakni hidup lebih baik dari sebelumnya atau bisa disebut hidup lebih maju. Hidup maju tersebut didukung atau dapat diwujudkan melalui pendidikan. Dikaitkan dengan penjelasaan diatas, menurut pendapat saya filsafat pendidikan yang sesuai atau mengarah pada terwujudnya kehidupan yang maju yakni filsafat yang konservatif yang didukung oleh sebuah idealisme, rasionalisme(kenyataan). Itu dikarenakan filsafat pendidikan mengarah pada hasil pemikiran manusia mengenai realitas, pengetahuan, dan nilai seperti yang telah disebutkan diatas.

Jadi, aliran filsafat yang pas dan sesuai dengan pendidikan yang mengarah pada kehidupan yang maju menurut pikiran saya yakni filsafat pendidikan progresivisme (berfokus pada siswanya). Tapi akan lebih baik lagi bila semua filsafat diatas bisa saling melengkapi.



ESENSIALISME

Esensialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Esensialisme didukung oleh idealisme modern yang mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam semesta tempat manusia berada.

Esensialisme juga didukung oleh idealisme subjektif yang berpendapat hahwa alam semesta itu pada hakikatnya adalah jiwa/spirit dan segala sesuatu yang ada ini nyata ada dalam arti spiritual. Realisme berpendapat bahwa kualitas nilai tergantung pada apa dan bagaimana keadaannya, apabila dihayati oleh subjek tertentu, dan selanjutnya tergantung pula pada subjek tersebut.

Menurut idealisme, nilai akan menjadi kenyataan (ada) atau disadari oleh setiap orang apabila orang yang bersangkutan berusaha untuk mengetahui atau menyesuaikan diri dengan sesuatu yang menunjukkan nilai kepadanya dan orang itu mempunyai pengalaman emosional yang berupa pemahaman dan perasaan senang tak senang mengenai nilai tersehut. Menunut realisme, pengetahuan terbentuk berkat bersatunya stimulus dan tanggapan tententu menjadi satu kesatuan. Sedangkan menurut idealisme, pengetahuan timbul karena adanya hubungan antara dunia kecil dengan dunia besar. Esensialisme berpendapat bahwa pendidikan haruslah bertumpu pada nilai- nilai yang telah teruji keteguhan-ketangguhan, dan kekuatannya sepanjang masa.

DEFINISI PERENIALISME

Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme berasal dari kata perennial yang berarti abadi, kekal atau selalu. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialis adalah dengan jalan mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali nilai – nilai atau prinsip – prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat, kukuh pada zaman kuno dan abad pertengahan.
Dalam pendidikan, kaum perenialis berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta mambahayakan tidak ada satu pun yang lebih bermanfaat daripada kepastian tujuan pendidikan, serta kestabilan dalam perilaku pendidik. Mohammad Noor Syam (1984) mengemukakan pandangan perenialis, bahwa pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal.


PANDANGAN MENGENAI KENYATAAN
Perenialisme berpendapat bahwa apa yang dibutuhkan manusia terutama ialah jaminan bahwa “reality is universal that is every where and at every moment the same “ (2:299) “ realita itu bersifat universal bahwa realita itu ada di mana saja dan sama di setiap waktu.” Dengan keputusan yang bersifat ontologism kita akan sampai pada pengertian – pengerian hakikat. Ontologi perenialisme berisikan pengertian : benda individual, esensi, aksiden dan substansi.
• Benda individual adalah benda yang sebagaimana nampak di hadapan manusia yang dapat ditangkap oleh indera kita seperti batu, kayu,dll
• Esensi dari sesuatu adalah suatu kualitas tertentu yang menjadikan benda itu lebih baik intrinsic daripada halnya, misalnya manusia ditinjau dari esensinya adalah berpikir
• Aksiden adalah keadaan khusus yang dapat berubah – ubah dan sifatnya kurang penting dibandingkan dengan esensialnya, misalnya orang suka barang – barang antic
• Substansi adalah suatu kesatuan dari tiap –tiap hal individu dari yang khas dan yang universal, yang material dan yang spiritual.
Menurut Plato, perjalanan suatu benda dalam fisika menerangkan ada 4 kausa.
• Kausa materialis yaitu bahan yang menjadi susunan sesuatu benda misalnya telor, tepung dan gula untuk roti
• Kausa formalis yaitu sesuatu dipandang dari formnya, bentuknya atau modelnya, misalnya bulat, gepeng, dll
• Kausa efisien yaitu gerakan yang digunakan dalam pembuatan sesuatu cepat, lambat atau tergesa – tergesa,dll
• Kausa finalis adalah tujuan atau akhir dari sesuatu. Katakanlah tujuan pembuatan sebuah patung.

PANDANGAN MENGENAI NILAI
Perenialisme berpandangan bahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sedangkan perbuatan manusia merupakan pancaran isi jiwanya yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan. Secara teologis, manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yaitu nilai yang merupakan suatu kesatuan dengan Tuhan. Untuk dapat sampai kesana manusia harus berusaha dengan bantuan akal rationya yang berarti mengandung nilai kepraktisan.
Menurut Aristoteles, kebajikan dapat dibedakan: yaitu yang moral dan yang intelektual. Kebajikan moral adalah kebajikan yang merupakan pembentukan kebiasaan, yang merupakan dasar dari kebajikan intelektual. Jadi, kebajikan intelektual dibentuk oleh pendidikan dan pengajaran. Kebajikan intelektual didasari oleh pertimbangan dan pengawasan akal. Oleh perenialisme estetika digolongkan kedalam filsafat praktis. Kesenian sebagai salah satu sumber kenikmatan keindahan adalah suatu kebajikan intelektual yang bersifat praktis filosofis. Hal ini berarti bahwa di dalam mempersoalkan masalah keindahan harus berakar pada dasar – dasar teologis, ketuhanan.

PANDANGAN MENGENAI PENGETAHUAN
Kepercayaan adalah pangkal tolak perenialisme mengenai kenyataan dan pengetahuan. Artinya sesuatu itu ada kesesuaian antara piker (kepercayaan) dengan benda – benda. Sedang yang dimaksud benda adalah hal – hal yang adanya bersendikan atas prinsip keabadian.Oleh karena itu, menurut perenialisme perlu adanya dalil – dalil yang logis, nalar, sehingga sulit untuk diubah atau ditolak kebenarannya. Menurut Aristoteles, Prinsip – prinsip itu dapat dirinci menjadi :
• Principium identitatis, yaitu identitas sesuatu. Contohnya apabila si Bopeng adalah benar – benar si Bopeng ia todak akan menjadi Si Panut.
• Principium contradiksionis ( prinsipium kontradiksionis), yaitu hukum kontradiksi (berlawanan). Suatu pernyataan pasti tidak mengandung sekaligus kebenaran dan kesalahan, pasti hanya mengandung satu kenyataan yakni benar atau salah.
• Principium exelusi tertii (principium ekselusi tertii), tidak ada kemungkinan ketiga. Apabila pernyataan atau kebenaran pertama salah, pasti pernyataan kedua benar dan sebaliknya apabila pernyataan pertama benar pasti pernyataan yang berikutnya tidak benar.
• Principium rationis sufisientis. Prinsip ini pada dasarnya mengetengahkan apabila barang sesuatu dapat diketahui asal muasalnya pasti dapat dicari pula tujuan atau akibatnya.
Perenialisme mengemukakan adanya hubungan antara ilmu pengetahuan dengan filsafat.
• Science sebagai ilmu pengetahuan
Science yang meliputi biologi, fisika, sosiologi, dan sebagainya ialah pengetahuan yang disebut sebagai “empiriological analysis” yakni analisa atas individual things dan peristiwa – peristiwa pada tingkat pengalaman dan bersifat alamiah. Science seperti ini dalam pelaksanaan analisa dan penelitiannya mempergunakan metode induktif. Selain itu, juga mempergunakan metode deduktif, tetapi pusat penelitiannya ialah meneliti dan mencoba dengan data tertentu yang bersifat khusus.
• Filsafat sebagai pengetahuan
Menurut perenialisme, fisafat yang tertinggi ialah “ilmu” metafisika. Sebab, science dengan metode induktif bersifat empiriological analysis (analisa empiris); kebenarannya terbatas, relatif atau kebenarannya probability. Tetapi filsafat dengan metode deduktif bersifat ontological analysis, kebenaran yang dihasilkannya universal, hakiki, dan berjalan dengan hukum – hukum berpikir sendiri, berpangkal pada hukum pertama; bahwa kesimpulannya bersifat mutlak, asasi. Hubungan filsafat dan pengetahuan tetap diakui urgensinya, sebab analisa empiris dan analisa ontology keduanya dianggap perenialisme dapat komplementatif. Tetapi filsafat tetap dapat berdiri sendiri dan ditentukan oleh hukum –hukum dalam filsafat sendiri, tanpa tergantung kepada ilmu pengetahuan.

PANDANGAN TENTANG PENDIDIKAN
Teori atau konsep pendidikan perenialisme dilatarbelakangi oleh filsafat – filsafat Plato sebagai Bapak Idealisme Klasik, filsafat Aristoteles sebagai Bapak Realisme Klasik, dan filsafat Thomas Aquina yang mencoba memadukan antara filsafat Aristoteles dengan ajaran Gereja Katolik yang tumbuh pada zamannya
1. Plato
Plato (427-347 SM), hidup pada zaman kebudayaan yang sarat dengan ketidakpastian, yaitu fisafat sofisme. Ukuran kebenaran dan ukuran moral menurut sofisme adalah manusia secara pribadi, sehingga pada zaman itu tidak ada kepastian dalam moral dan kebenaran, tergantung pada masing – masing individu. Plato berpandangan bahwa realitas yang hakiki itu tetap tidak berubah karena telah ada pada diri manusia sejak dari asalnya. Menurut Plato, “dunia idea”, yang bersumber dari ide mutlak, yaitu Tuhan. Manusia menemukan kebenaran, pengetahuan, dan nilai moral dengan menggunakan akal atau ratio.
Tujuan utama pendidikan adalah membina pemimpin yang sadar akan asas normative dan melaksanakannya dalam semua aspek kehidupan. Masyarakat yang ideal adalah masyarakat adil sejahtera. Manusia yang terbaik adalah manusia yang hidup atas dasar prinsip “idea mutlak”, yaitu suatu prinsip mutlak yang menjadi sumber realitas semesta dan hakikat kebenaran abadi yang transcendental yang membimbing manusia untuk menemukan criteria moral, politik, dan social serta keadilan. Ide mutlak adalah Tuhan
2. Aristoteles
Aristoteles (384 – 322 SM) adalah murid Plato, namun dalam pemikirannya ia mereaksi terhadap filsafat gurunya, yaitu idealisme. Hasil pemikirannya disebut filsafat realisme. Ia mengajarkan cara berpikir atas prinsip realistis, yang lebih dekat pada alam kehidupan manusia sehari – hari. Menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk materi dan rohani sekaligus. Sebagai materi, ia menyadari bahwa manusia dalam hidupnya berada dalam kondisi alam materi dan social. Sebagai makhluk rohani, manusia sadar ia akan menuju pada proses yang lebih tinggi yang menuju kepada manusia ideal
Perkembangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat mencapainya. Ia menganggap penting pula pembentukan kebiasaan pada tingkat pendidikan usia muda dalam menanamkan kesadaran menurut aturan moral. Aristoteles juga menganggap kebahagiaan sebagai tujuan dari pendidikan yang baik. Ia mengembangkan individu secara bulat, totalitas. Aspek – aspek jasmaniah, emosi, dan intelek sama dikembangkan, walaupun ia mengakui bahwa “kebahagiaan tertinggi ialah kehidupan berpikir” (2:317)
3. Thomas Aquinas
Thomas berpendapat pendidikan adalah menuntun kemampuan – kemampuan yang masih tidur menjadi aktif atau nyata tergantung pada kesadaran tiap –tiap individu. Seorang guru bertugad untuk menolong membangkitkan potensi yang masih tersembunyi dari anak agar menjadi aktif dan nyata. Menurut J.Maritain, norma fundamental pendidikan adalah :
• Cinta kebenaran
• Cinta kebaikan dan keadilan
• Kesederhanaan dan sifat terbuka terhadap eksistensi
• Cinta kerjasama
Kaum perenialis juga percaya bahwa dunia alamiah dan hakikat manusia pada dasarnya tetap tidak berubah selam berabad – abad : jadi, gagasan – gagasan besar terus memiliki potensi yang paling besar untuk memecahkan permasalahan – permasalahan di setiap zaman. Selain itu, filsafat perenialis menekankan kemampuan – kemampuan berpikir rasional manusia sehingga membedakan mereka dengan binatang – binatang lain.

PANDANGAN MENGENAI BELAJAR
Teori dasar dalam belajar menurut perenialisme adalah :
? Mental disiplin sebagai teori dasar
Penganut perenialisme sependapat bahwa latihan dan pembinaan berpikir (mental discipline) adalah salah satu kewajiban tertinggi dari belajar, atau keutamaan dalam proses belajar (yang tertinggi). Karena itu teori dan program pendidikan pada umumnya dipusatkan kepada pembinaan kemampuan berpikir.
? Rasionalitas dan Asas Kemerdekaan.
Asas berpikir dan kemerdekaan harus menjadi tujuan utama pendidikan ; otoritas berpikir harus disempurnakan sesempurna mungkin. Dan makna kemerdekaan pendidikan ialah membantu manusia untuk menjadi dirinya sendiri, be him-self, sebagai essential-self yang membedakannya daripada makhluk- makhluk lain. Fungsi belajar harus diabdikan bagi tujuan ini, yaitu aktualitas manusia sebagai makhluk rasional yang dengan itu bersifat merdeka.
? Learning to Reason ( Belajar untuk Berpikir)
Perenialisme tetap percaya dengan asas pembentukan kebiasaan dalam permulaan pendidikan anak. Kecakapan membaca, menulis dan berhitung merupakan landasan dasar. Dan berdasarkan pentahapan itu, maka learning to reason menjadi tujuan pokok pendidikan sekolah menengah dan pendidikan tinggi.
? Belajar sebagai Persiapan Hidup
Bagi Thomisme, belajar untuk berpikir dan belajar untuk persiapan hidup (dalam masyarakat) adalah dua langkah pada jalan yang sama, yakni menuju kesempurnaan hidup, kehidupan duniawi menuju kehidupan syurgawi.
? Learning through Teaching (belajar melalui Pengajaran)
Adler membedakan antara “learning by instruction” dan “learning by discovery”, penyelidikan tanpa bantuan guru. Dan sebenarnya learning by instruction adalah dasar dan menuju learning by discovery, sebagai self education. Menurut perenialisme, tugas guru bukanlah perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai “murid” yang mengalami proses belajar sementara mengajar. Guru mengembangkan potensi – potensi self discovery ; dan ia melakukan “moral authority”atas murid –muridnya, karena ia adalah seorang professional yang qualified dan superior dibandingkan muridnya.