Rabu, 09 Juli 2008

nilai-nilai estetika

Menggugat Nilai Budaya yang Usang

Pada tataran ideologi, budaya Bali seringkali disebut-sebut sebagai benteng pencegah berbagai keterpurukan. Ketika budaya ditegakkan secara benar, nilai-nilai estetika, moral, kemanusiaan dan lain sebagainya akan lestari. Tetapi pada tataran realitas, kita seringkali diganggu rasa terenyuh. Betapa budaya Bali sesungguhnya terus-menerus mengalami ketergangguan oleh berbagai hal yang dibawa oleh tuntutan dan godaan hidup modern. Katakanlah ketika industri pariwisata menjadi panglima, budaya Bali harus takluk di dalamnya sebagai objek. Akhirnya budaya Bali tak lebih dari sekadar ''kuda tunggangan'' untuk meraih target-target ekonomi. Nah, pada masa mendatang (2004) bagaimana mestinya masyarakat menempatkan kebudayaan Bali. Strategi apa yang seharusnya dilakukan agar budaya Bali tidak sekadar objek, tetapi justru menjadi subjek?

-------------------------

Seniman Kadek Suartaya, SS.Kar., M.Si. mengatakan sesungguhnya banyak nilai kebudayaan Bali dapat memberi nilai positif bagi kehidupan masyarakat Bali. Namun, mesti diakui ada nilai-nilai yang perlu dikaji ulang atau dipikir ulang pada tahun 2004 ini.

Selama ini ada kecenderungan masyarakat mengkultuskan nilai-nilai budaya yang sebenarnya tak relevan lagi dengan perkembangan kebudayaan atau transformasi budaya saat ini. Karena sikap mentabukan nilai-nilai itu atau tidak memiliki keberanian untuk menggugat nilai-nilai yang usang, menyebabkan masyarakat terus tergelincir dalam kubangan kebudayaan yang kontraproduktif dengan nilai kekinian.

Hal ini justru berpengaruh besar terhadap pola pikir kebudayaan. ''Akibatnya, pola pikir kita menjadi mandul, perilaku budaya kita tak cerdas dan kemampuan untuk menciptakan nilai-nilai budaya baru tak ada. Di samping itu, tak memiliki rangsangan untuk menciptakan nilai-nilai baru,'' kata dosen ISI Denpasar ini.

Kata Suartaya, banyak nilai usang mesti ditanggalkan, seperti manak salah, kasepekang, briyuk siu dan kebulatan tekad. Bahkan, kebulatan tekad itu justru memenjarakan hak-hak demokrasi. Tetapi saat ini masih saja ada masyarakat yang mengkultuskannya.

Pada tahun 2004 ini masyarakat mestinya tidak takut lagi membuang atau mengkaji ulang nilai-nilai budaya yang membuat pola pikir terkungkung. Masyarakat juga merevisi kembali cara berperilaku budaya yang tidak takut mengadopsi nilai-nilai budaya baru. ''Dengan demikian kita tak hanya mampu mengangkat gengsi dan harkat martabat budaya Bali, tetapi menyumbangkan nilai-nilai itu dalam skup yang lebih luas. Dengan demikian, kebudayaan Bali akan mampu memberi kontribusi dalam era kesejagatan. Dengan merombak cara berpikir, kita akan berhasil menempatkan kebudayaan Bali pada posisinya yang wajar,'' katanya.

Tanpa Strategi

Seniman Drs. Ketut Murdana, M.Sn. mengatakan kebudayaan kita selama ini seolah-olah dibangun tanpa koordinasi dan tanpa strategi. Akhirnya, masing-masing merancang sendiri sehingga kekuatannya terpencar. Kekuatan itu justru tak bisa memberikan vibrasi yang lebih luas. Akibatnya pula budaya asing dengan mudah masuk menjadi ''kebudayaan'' baru masyarakat. Itu karena kontrol atau filter kita yang lemah. Contohnya bisa dilihat dari cara berpakaian, cara berpikir, berperilaku masyarakat belakangan ini.

''Bahkan, kita seolah-olah bangga mengadopsi produk luar,'' katanya sembari berharap masyarakat jangan sampai grasa-grusu menyerap budaya asing. Karena itu, pada tahun 2004 ini sudah selayaknya melihat kembali jaditi diri budaya Bali. Nilai-nilai yang adiluhung atau keunggulan potensi itulah yang mesti dipakai oleh pihak terkait utuk membangun strategi kebudayaan di masa depan. ''Kita sudah saatnya meninggalkan budaya bakar-bakaran, tusuk-menusuk sesama keluarga. Demikian pula sikap arogansi dll. mesti sudah saatnya dibuang jauh-jauh,'' katanya.

Jika itu terus terjadi dalam masyarakat Bali, justru akan mengkerdilkan arti kebudayaan Bali yang nilai-nilainya sudah sangat tersohor di mancanegara. Pun, jika itu terjadi sama artinya kembali terjadi pembiadaban-pembiadaban. Karena itu, perlu ada renungan diri sendiri untuk memaknai nilai-nilai budaya yang kita miliki.

Dikatakannya, masuknya unsur eksternal memang membuat kemasan baru dalam kebudayaan atau kesenian khususnya. Dari segi ekonomi memang memiliki makna positif. Tetapi di sisi lain akan terjadi erosi kultural. Efek komersial itu justru akan mempengaruhi keajegan kesucian budaya Bali. Strategi ke depan, semua pihak mesti melakukan proteksi terhadap budaya Bali. Security pribadi justru sangat menentukan. Jika ingin menjaga keselamatan budaya Bali, semua pihak mesti ada kesadaran untuk mengajegkannya.

Menggugat Nilai Budaya yang Usang

Pada tataran ideologi, budaya Bali seringkali disebut-sebut sebagai benteng pencegah berbagai keterpurukan. Ketika budaya ditegakkan secara benar, nilai-nilai estetika, moral, kemanusiaan dan lain sebagainya akan lestari. Tetapi pada tataran realitas, kita seringkali diganggu rasa terenyuh. Betapa budaya Bali sesungguhnya terus-menerus mengalami ketergangguan oleh berbagai hal yang dibawa oleh tuntutan dan godaan hidup modern. Katakanlah ketika industri pariwisata menjadi panglima, budaya Bali harus takluk di dalamnya sebagai objek. Akhirnya budaya Bali tak lebih dari sekadar ''kuda tunggangan'' untuk meraih target-target ekonomi. Nah, pada masa mendatang (2004) bagaimana mestinya masyarakat menempatkan kebudayaan Bali. Strategi apa yang seharusnya dilakukan agar budaya Bali tidak sekadar objek, tetapi justru menjadi subjek?

-------------------------

Seniman Kadek Suartaya, SS.Kar., M.Si. mengatakan sesungguhnya banyak nilai kebudayaan Bali dapat memberi nilai positif bagi kehidupan masyarakat Bali. Namun, mesti diakui ada nilai-nilai yang perlu dikaji ulang atau dipikir ulang pada tahun 2004 ini.

Selama ini ada kecenderungan masyarakat mengkultuskan nilai-nilai budaya yang sebenarnya tak relevan lagi dengan perkembangan kebudayaan atau transformasi budaya saat ini. Karena sikap mentabukan nilai-nilai itu atau tidak memiliki keberanian untuk menggugat nilai-nilai yang usang, menyebabkan masyarakat terus tergelincir dalam kubangan kebudayaan yang kontraproduktif dengan nilai kekinian.

Hal ini justru berpengaruh besar terhadap pola pikir kebudayaan. ''Akibatnya, pola pikir kita menjadi mandul, perilaku budaya kita tak cerdas dan kemampuan untuk menciptakan nilai-nilai budaya baru tak ada. Di samping itu, tak memiliki rangsangan untuk menciptakan nilai-nilai baru,'' kata dosen ISI Denpasar ini.

Kata Suartaya, banyak nilai usang mesti ditanggalkan, seperti manak salah, kasepekang, briyuk siu dan kebulatan tekad. Bahkan, kebulatan tekad itu justru memenjarakan hak-hak demokrasi. Tetapi saat ini masih saja ada masyarakat yang mengkultuskannya.

Pada tahun 2004 ini masyarakat mestinya tidak takut lagi membuang atau mengkaji ulang nilai-nilai budaya yang membuat pola pikir terkungkung. Masyarakat juga merevisi kembali cara berperilaku budaya yang tidak takut mengadopsi nilai-nilai budaya baru. ''Dengan demikian kita tak hanya mampu mengangkat gengsi dan harkat martabat budaya Bali, tetapi menyumbangkan nilai-nilai itu dalam skup yang lebih luas. Dengan demikian, kebudayaan Bali akan mampu memberi kontribusi dalam era kesejagatan. Dengan merombak cara berpikir, kita akan berhasil menempatkan kebudayaan Bali pada posisinya yang wajar,'' katanya.

Tanpa Strategi

Seniman Drs. Ketut Murdana, M.Sn. mengatakan kebudayaan kita selama ini seolah-olah dibangun tanpa koordinasi dan tanpa strategi. Akhirnya, masing-masing merancang sendiri sehingga kekuatannya terpencar. Kekuatan itu justru tak bisa memberikan vibrasi yang lebih luas. Akibatnya pula budaya asing dengan mudah masuk menjadi ''kebudayaan'' baru masyarakat. Itu karena kontrol atau filter kita yang lemah. Contohnya bisa dilihat dari cara berpakaian, cara berpikir, berperilaku masyarakat belakangan ini.

''Bahkan, kita seolah-olah bangga mengadopsi produk luar,'' katanya sembari berharap masyarakat jangan sampai grasa-grusu menyerap budaya asing. Karena itu, pada tahun 2004 ini sudah selayaknya melihat kembali jaditi diri budaya Bali. Nilai-nilai yang adiluhung atau keunggulan potensi itulah yang mesti dipakai oleh pihak terkait utuk membangun strategi kebudayaan di masa depan. ''Kita sudah saatnya meninggalkan budaya bakar-bakaran, tusuk-menusuk sesama keluarga. Demikian pula sikap arogansi dll. mesti sudah saatnya dibuang jauh-jauh,'' katanya.

Jika itu terus terjadi dalam masyarakat Bali, justru akan mengkerdilkan arti kebudayaan Bali yang nilai-nilainya sudah sangat tersohor di mancanegara. Pun, jika itu terjadi sama artinya kembali terjadi pembiadaban-pembiadaban. Karena itu, perlu ada renungan diri sendiri untuk memaknai nilai-nilai budaya yang kita miliki.

Dikatakannya, masuknya unsur eksternal memang membuat kemasan baru dalam kebudayaan atau kesenian khususnya. Dari segi ekonomi memang memiliki makna positif. Tetapi di sisi lain akan terjadi erosi kultural. Efek komersial itu justru akan mempengaruhi keajegan kesucian budaya Bali. Strategi ke depan, semua pihak mesti melakukan proteksi terhadap budaya Bali. Security pribadi justru sangat menentukan. Jika ingin menjaga keselamatan budaya Bali, semua pihak mesti ada kesadaran untuk mengajegkannya.

Selasa, 01 Juli 2008

NILAI-NILAI PENDIDIKAN DI INDONESIA

Lingkungan dalam Pendidikan Indonesia

Oleh Ubaidillah Syohih

Beranjak dari berbagai pemahaman mengenai paradigma pengajaran, hingga saat ini saya belum ingin mengatakan pengajaran itu sebagai pendidikan, Indonesia saat ini dalam kaitannya dengan proses transformasi nilai-nilai etika lingkungan, perlu kiranya kita menengok ke dalam diri kita, mengingat kembali pengalaman-pengalaman saat kita diajar. Sejauh ini, pola pengajaran pada lembaga-lembaga pengajaran di Indonesia cenderung mengarahkan peserta ajar untuk sekadar tahu dan hapal mengenai hal-hal yang berkenaan dengan lingkungan agar hasil ujiannya baik.

Hal tersebut diperparah dengan diterapkannya sistem pemeringkatan nilai peserta ajar di akhir semester. “Kamu ranking berapa? Aku rangking satu dong.” Sebuah kalimat yang biasa kita dengar ketika pembagian rapor dilakukan. Ditambah lagi dengan ungkapan, “Anak ibu rangking berapa?” atau “Kamu tuh gimana sih, masa teman kamu bisa rangking 1 kamu gak bisa?”. Hal ini menggambarkan kepada bahwa justru pola pengajaran Indonesia saat ini lebih mengajarkan peserta ajarnya untuk berkompetisi yang pada akhirnya menimbulkan perilaku-perilaku buruk seperti mencontek, bekerja sama ketika ujian, dan perilaku lain yang pada intinya mengarah pada penghalalan segala cara agar memperoleh nilai yang baik, agar tidak dimarahi orang tua, dan agar diperhatikan pengajar yang pada akhirnya mereduksi proses transformasi nilai-nilai etika lingkungan.

Pada sebuah diskusi mengenai adaptasi perubahan iklim melalui sektor pendidikan di Bogor beberapa waktu yang lalu, seorang peserta diskusi memaparkan pengalamannya belajar di sebuah institusi perguruan tinggi yang banyak mengajarkan tentang aspek-aspek lingkungan, namun dia merasa sistem pengajaran yang diterapkan di perguruan tinggi tersebut belum, bila tidak ingin dikatakan tidak, mampu menumbuhkan dan mengembangkan kepekaan dan kesadaran peserta ajar pada lingkungan walaupun ilmu-ilmu yang diajarkan adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan lingkungan. Lalu apa dan atau siapa yang salah? Objektifikasi peserta ajar, ketidakmampuan pengajar dalam mentransformasi nilai-nilai etika lingkungan, sistem pengajaran, atau kurikulumnya yang salah?

Objektifikasi peserta ajar. Hal ini dimengerti bahwa selama ini, peserta ajar adalah objek atas transfer ilmu dari subjek yang bernama pengajar. Peserta ajar ,saat ini, jarang sekali dilibatkan dalam diskusi-diskusi atau diajak berdiskusi mengenai hal-hal yang mengarah pada pengembangan kreatifitas, kekritisan, dan kesadaran peserta ajar atas contoh- contoh kasus yang, harapannya, disampaikan oleh pengajar. Pengajar seperti melakukan teater monolog di mana peserta ajar duduk termangu menonton pengajarnya bermonolog.

Ketidakmampuan pengajar dalam mentransformasikan nilai-nilai etika lingkungan. Tingkat kepakaran pengajar pada suatu bidang kadang kala membuat sang pengajar enggan untuk mentransformasikan hal-hal di luar bidang yang dikuasainya, terlebih lagi hal itu dianggap bertentangan dengan bidang yang digelutinya selama ini. Selain itu, hal tersebut pun terjadi karena sang pengajar pun belum memperoleh pengetahuan, atau belum mengaktualisasikan, nilai-nilai etika lingkungan, sehingga tentunya ia tidak mampu untuk mentransformasikan nilai-nilai etika lingkungan kepada peserta ajar.

Sistem pengajaran. Sebagaimana telah dijelaskan pada pengantar tulisan ini, sistem pengajaran di Indonesia saat ini hanya mampu membentuk peserta ajar menjadi robot-robot di mana orangtua sebagai pengendalinya dan pengajar sebagai benda yang memancarkan gelombang (kurikulum) untuk akhirnya ditangkap oleh sensor yang ada di otak peserta ajar. Akan baik kiranya bila orang tua mengarahkan anaknya untuk mengembangkan, kepekaan, kesadaran, wawasan dan kreatifitas anaknya terhadap nilai-nilai lingkungan dan didorong pula oleh pengajar dengan memberikan materi yang merangsang peserta ajarnya untuk kritis dan kreatif. Namun pada kenyataannya, saat ini hal itu masih sangatlah jarang ditemui, apalagi bila kita melihat di sekolah-sekolah maupun perguruan-perguruan tinggi negeri.

Kurikulumnya yang salah? Lancang memang bila saya memasuki wilayah yang notabene dikuasai oleh pemerintah dan lebih lancang lagi sepertinya bila saya menganggap kesalahan kurikulum ini adalah kesalahan pemerintah. Penandatanganan nota kesepahaman antara Menteri Lingkungan Hidup dengan Menteri Pendidikan Nasional tentang Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup pada tanggal 3 Juni 2005 merupakan langkah awal yang baik dilakukan oleh pemerintah sebagai langkah awal terintegrasinya nilai-nilai etika lingkungan ke dalam kurikulum pendidikan nasional. Namun perlu kita ingat bahwa apapun kebijakan pemerintah yang dibuat, bila tidak diselaraskan dengan pencerabutan keadaan struktural sistem pendidikan Indonesia yang telah begitu mengakar dan sulit diubah, tidak akan mampu mengubah paradigma pendidikan Indonesia yang masih hanya mengedepankan transfer pengetahuan hingga saat ini.

Lalu apa yang bisa kita lakukan?

Tentunya hal tersebut berpijak pada siapa kita. Bagian dari birokrasikah? Bagian dari akademisikah? Bagian dari orang tuakah? Bagian dari peserta ajarkah? Bagian dari Lembaga Swadaya Masyarakat dan organisasi kemasyarakatankah? Atau kita hanya menganggap sebagai seorang individu tanpa label? Apapun kita, lakukanlah langkah dan gerakan yang terbaik sesuai dengan label masing-masing agar nilai-nilai etika lingkungan dapat tertransformasi dengan baik sehingga bangsa Indonesia dan bangsa Bumi, serta makhluk hidup lainnya dapat melestarikan peradabannya.

Selamat Hari Pendidikan Nasional. Semoga kita mampu menjadi bangsa yang terdidik dan mampu menjadi pendidik yang baik untuk anak - cucu kita.

“Anak didik tidak hanya disiapkan agar siap bekerja, tapi juga bisa menjalani hidupnya secara nyata sampai mati. Anak didik haruslah berpikir dan pikirannya itu dapat berfungsi dalam hidup sehari-hari. Kebenaran adalah gagasan yang harus dapat berfungsi nyata dalam pengalaman praktis.” John Dewey (1859 – 1952)

Kisah Sang Juara MTQ Remaja ASEAN (2-Habis)
Merasa Gugup Di Depan Sultan

RAUDHAH yang sudah lama berpengalaman mengikuti MTQ, mulai tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi sampai nasional, malam itu tampil di tingkat Asia Tenggara.

Meski kali pertama tampil di ajang internasional, remaja yang masih sekolah di Ponpes Al Amin Pasayangan ini, sama sekali tidak merasa gugup.

Latihan yang cukup panjang, mulai di Martapura dibimbing oleh HM Yusri sampai beberapa hari di Jakarta oleh Syarifuddin--menjelang ke Brunei, cukup membuat mental remaja berkulit putih bersih ini siap membela nama negara.

"Tanpa disangka saya mendapat giliran pertama, usai kafilah pria menunaikan tugasnya. Tetapi, saya sama sekali tidak merasa gugup, karena guru-guru saya sudah menanamkan pengertian agar menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Meski pun berkonsentrasi secara optimal, tetapi saya tetap rileks saja," akunya.

Pada hari-hari berikutnya, Raudhah tetap melaksanakan tugasnya dengan baik dan hampir tidak melakukan kekhilafan yang berarti. Lantunan suaranya maupun ketepatan tajwidnya, sudah sesuai dengan hasil latihannya selama ini.

Perasaan gugup baru dirasanya pada malam penutupan, Jumat (8/4) malam, di mana Sultan Hasanal Bolkiah, para petinggi kesultananan serta para diplomat negara-negara sahabat ikut hadir menyaksikan kemampuannya.

"Pasalnya tanpa disangka, saya dengan Mat Suro dipercayakan oleh panitia melantunkan ayat suci Alquran, sungguh suatu kehormatan bagi Indonesia," tuturnya dan mengaku dirinya belum mengetahui bahwa kafilah Indonesia memiliki nilai tertinggi dan tinggal diumumkan sebagai pemenang lomba.

Saat diumumkan kalau kafilah Indonesia yang diwakili Mat Suro dan Raudhah berhasil mengumpulkan nilai tertinggi, dan berhak atas gelar juara pertama pada ajang MTQ Remaja ASEAN Brunei Darussalam 2005 serta didaulat sekali lagi tampil di depan Sultan Bolkiah dan hadirin, ia merasakan kegugupan.

"Saat itu saya baru merasakan gugup yang luar biasa, karena penampilan saya memiliki beban sebagai penyandang gelar juara. Ada beban moril, kami harus membuktikan pantas menyandang gelar itu. Tapi, syukurlah tugas itu bisa dijalankan dengan baik," tuturnya.

Kejadian unik terjadi, ketika akan dilaksanakan penyerahan piala Sultan kepada sang juara. "Sebelum acara itu dimulai, kami diberi waktu beberapa menit untuk latihan tata cara berjalan dan memberi salam hormat kepada Sultan. dibimbing bagian protokoler kesultanan," kisahnya.

Untuk menuju panggung kehormatan di mana Sultan berdiri menunggu, Mat Suro dan Raudhah berjalan dengan perlahan seraya diikuti empat dayang istana. Sebelum melangkahkan kaki, mereka menganggukkan kepala sekali. Demikian pula setelah berhenti di depan Sultan sejarak tiga langkah, mereka kembali menganggukkan kepala.

Sultan kemudian menyerahkan piala terbuat dari kristal yang diperkirakan harganya ratusan juta rupiah kepada mereka. Namun, piala asli tersebut kembali diserahkan kepada para dayang, dan tidak di bawa pulang ke Indonesia.

"Yang kami bawa, hanya duplikatnya dalam bentuk yang lebih kecil," papar Raudhah. Selain piala, Raudhah juga berhak atas hadiah uang tunai sebesar 3.000 Ringgit Brunei atau setara Rp7.481.247.53.

Dari pengalamannya itu, Raudhah mengaku banyak yang bisa dicontoh oleh warga Martapura, termasuk kaum Muslimin Indonesia dari budaya warga Brunei.

Di kalangan guru-gurunya di Ponpes Al Amin, Raudhah memang memiliki talenta di atas rata-rata. Menurut guru Bahasa Arab-nya, M Rafiq, remaja ini memiliki kemampuan bahasa Arab yang baik, dan hampir selalu di atas rekan-rekannya.

"Ia (Raudhah) bisa dengan gamblang menjawab pertanyaan saya dalam bahasa Arab, dan ia memang paling aktif dibanding rekan-rekannya dalam berkomunikasi dengan bahasa ini," aku Rafiq.

Rafiq mengaku bangga atas prestasi anak didiknya itu. "Meskipun ia sibuk dengan berbagai kegiatan baik di sekolah, maupun mengikuti lomba atau mengisi acara-acara keagamaan di luar sekolah, namun ia tidak pernah ketinggalan pelajaran dan prestasi akademiknya pun tetap memuaskan," ucapnya.

Di mata rekan-rekannya, Raudhah adalah sosok remaja yang mudah bergaul dengan siapa saja, sebab terkenal supel dan low profile. "Orangnya juga rame, sehingga bisa menyenangkan teman-temannya," kata sohibah Raudhah di kelas III IPA, Nur Hafidzah.

Ditambahkan Nur, Raudhah memang dianggap sebagai bintang di sekolahnya berkat segudang prestasinya. "Kami terus terang bangga berteman dengannya dan ingin seperti dia, tetapi kemampuan kami masih kalah sama dia," ceplos Nur seraya disambut gerai tawa teman-temannya. Raudhah yang ada disamping tersenyum malu dengan pipi memerah jambu seraya berkata, "Ah, tidak juga". adi permana


Copyright © 2003 Banjarmasin Post