Kisah Sang Juara MTQ Remaja ASEAN (2-Habis) RAUDHAH yang sudah lama berpengalaman mengikuti MTQ, mulai tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi sampai nasional, malam itu tampil di tingkat Asia Tenggara. Meski kali pertama tampil di ajang internasional, remaja yang masih sekolah di Ponpes Al Amin Pasayangan ini, sama sekali tidak merasa gugup. Latihan yang cukup panjang, mulai di Martapura dibimbing oleh HM Yusri sampai beberapa hari di Jakarta oleh Syarifuddin--menjelang ke Brunei, cukup membuat mental remaja berkulit putih bersih ini siap membela nama negara. "Tanpa disangka saya mendapat giliran pertama, usai kafilah pria menunaikan tugasnya. Tetapi, saya sama sekali tidak merasa gugup, karena guru-guru saya sudah menanamkan pengertian agar menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Meski pun berkonsentrasi secara optimal, tetapi saya tetap rileks saja," akunya. Pada hari-hari berikutnya, Raudhah tetap melaksanakan tugasnya dengan baik dan hampir tidak melakukan kekhilafan yang berarti. Lantunan suaranya maupun ketepatan tajwidnya, sudah sesuai dengan hasil latihannya selama ini. Perasaan gugup baru dirasanya pada malam penutupan, Jumat (8/4) malam, di mana Sultan Hasanal Bolkiah, para petinggi kesultananan serta para diplomat negara-negara sahabat ikut hadir menyaksikan kemampuannya. "Pasalnya tanpa disangka, saya dengan Mat Suro dipercayakan oleh panitia melantunkan ayat suci Alquran, sungguh suatu kehormatan bagi Indonesia," tuturnya dan mengaku dirinya belum mengetahui bahwa kafilah Indonesia memiliki nilai tertinggi dan tinggal diumumkan sebagai pemenang lomba. Saat diumumkan kalau kafilah Indonesia yang diwakili Mat Suro dan Raudhah berhasil mengumpulkan nilai tertinggi, dan berhak atas gelar juara pertama pada ajang MTQ Remaja ASEAN Brunei Darussalam 2005 serta didaulat sekali lagi tampil di depan Sultan Bolkiah dan hadirin, ia merasakan kegugupan. "Saat itu saya baru merasakan gugup yang luar biasa, karena penampilan saya memiliki beban sebagai penyandang gelar juara. Ada beban moril, kami harus membuktikan pantas menyandang gelar itu. Tapi, syukurlah tugas itu bisa dijalankan dengan baik," tuturnya. Kejadian unik terjadi, ketika akan dilaksanakan penyerahan piala Sultan kepada sang juara. "Sebelum acara itu dimulai, kami diberi waktu beberapa menit untuk latihan tata cara berjalan dan memberi salam hormat kepada Sultan. dibimbing bagian protokoler kesultanan," kisahnya. Untuk menuju panggung kehormatan di mana Sultan berdiri menunggu, Mat Suro dan Raudhah berjalan dengan perlahan seraya diikuti empat dayang istana. Sebelum melangkahkan kaki, mereka menganggukkan kepala sekali. Demikian pula setelah berhenti di depan Sultan sejarak tiga langkah, mereka kembali menganggukkan kepala. Sultan kemudian menyerahkan piala terbuat dari kristal yang diperkirakan harganya ratusan juta rupiah kepada mereka. Namun, piala asli tersebut kembali diserahkan kepada para dayang, dan tidak di bawa pulang ke Indonesia. "Yang kami bawa, hanya duplikatnya dalam bentuk yang lebih kecil," papar Raudhah. Selain piala, Raudhah juga berhak atas hadiah uang tunai sebesar 3.000 Ringgit Brunei atau setara Rp7.481.247.53. Dari pengalamannya itu, Raudhah mengaku banyak yang bisa dicontoh oleh warga Martapura, termasuk kaum Muslimin Indonesia dari budaya warga Brunei. Di kalangan guru-gurunya di Ponpes Al Amin, Raudhah memang memiliki talenta di atas rata-rata. Menurut guru Bahasa Arab-nya, M Rafiq, remaja ini memiliki kemampuan bahasa Arab yang baik, dan hampir selalu di atas rekan-rekannya. "Ia (Raudhah) bisa dengan gamblang menjawab pertanyaan saya dalam bahasa Arab, dan ia memang paling aktif dibanding rekan-rekannya dalam berkomunikasi dengan bahasa ini," aku Rafiq. Rafiq mengaku bangga atas prestasi anak didiknya itu. "Meskipun ia sibuk dengan berbagai kegiatan baik di sekolah, maupun mengikuti lomba atau mengisi acara-acara keagamaan di luar sekolah, namun ia tidak pernah ketinggalan pelajaran dan prestasi akademiknya pun tetap memuaskan," ucapnya. Di mata rekan-rekannya, Raudhah adalah sosok remaja yang mudah bergaul dengan siapa saja, sebab terkenal supel dan low profile. "Orangnya juga rame, sehingga bisa menyenangkan teman-temannya," kata sohibah Raudhah di kelas III IPA, Nur Hafidzah. Ditambahkan Nur, Raudhah memang dianggap sebagai bintang di sekolahnya berkat segudang prestasinya. "Kami terus terang bangga berteman dengannya dan ingin seperti dia, tetapi kemampuan kami masih kalah sama dia," ceplos Nur seraya disambut gerai tawa teman-temannya. Raudhah yang ada disamping tersenyum malu dengan pipi memerah jambu seraya berkata, "Ah, tidak juga". adi permana |
Copyright © 2003 Banjarmasin Post |
Selasa, 01 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar